Sabtu, 17 Maret 2012

"Subsidi BBM" adalah menyesatkan dan omong kosong, mereka rela membebani rakyat dengan kenaikan BBM hanya agar keuntungan mereka tidak berkurang.

Menurut Seorang Pengamat Kwik Kian Gie, informasi mengenai "subsidi BBM" adalah menyesatkan dan omong kosong. Saya (blogger) berpendapat, karena omong kosong itu sengaja digunakan untuk menyesatkan masyarakat maka bisa dikategorikan sebagai penipuan. Mari kita bahas secara ilmiah, meski mohon ma'af, data tentang angka-angka yang digunakan dalam analisis ini seperti kuantitas produksi dan konsumsi BBM serta harga BBM mungkin keliru, namun secara esensi adalah benar adanya.

Subsidi adalah kerugian biaya yang ditanggung pemerintah karena biaya produksi BBM yang dikeluarkan lebih besar dari penjualannya. Misalnya saja biaya produksi 1 liter BBM adalah Rp 4.500 dan harga jualnya Rp 3.000. Maka untuk setiap 1 liter BBM yang diproduksi pemerintah harus memberikan subsidi Rp 1.500.

Sekarang mari kita lihat dalam konteks produksi BBM di Indonesia. Produksi BBM mentah di Indonesia sekitar 1 juta barrel per-hari, 92% diserahkan produksinya kepada asing dan 8% sisanya ke Pertamina. Dari 92% BBM mentah yang diproduksi asing sebanyak 70%-nya menjadi hak negara c.q pemerintah. Dengan asumsi Pertamina adalah perusahaan pemerintah, maka total produksi BBM mentah yang menjadi hak pemerintah adalah 64% dari total produksi minyak mentah nasional atau sekitar 640.000 barrel per-hari. Harga produksi minyak mentah, katakanlah sekitar $20/barrel meski mungkin jauh lebih murah lagi.

Jika harga pasaran minyak mentah adalah $80/barrel sebagaimana beberapa waktu lalu, maka keuntungan pemerintah adalah ($80 - $20) x 640.000 per-hari atau $38,4 juta atau sekitar Rp 380 milir per-hari.

Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, pemerintah harus mengimpor minyak sebesar 100.000 barrel per-hari. Dengan harga pasaran $80 dollar/barrel, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya sebesar $8 juta atau sekitar Rp 75 miliar per-hari. Dengan demikian maka pemerintah masih mendapatkan surplus sebesar Rp 380 miliar - Rp 75 miliar = Rp 305 miliar per-hari atau sekitar Rp 111 triliun setahun.

Kemudian katakanlah terjadi kenaikan harga BBM internasional hingga mencapai $100 per-barrel. Pengeluaran pemerintah untuk mengimpor minyak memang naik menjadi $10 juta atau sekitar Rp 90 miliar per-hari. Namun pendapatan pemerintah, tanpa menaikkan harga minyak, masih lebih besar dari angka itu dan pemerintah masih menanggung untung Rp 380 miliar - Rp 90 miliar = Rp 290 miliar per-hari atau sekitar Rp 105 triliun setahun. Sama sekali tidak ada subsidi, hanya berkurang keuntungan sebesar Rp 111 triliun - Rp 105 triliun = Rp 6 triliun.

Lalu mengapa pemerintah, media massa, pengamat ekonomi liberal dan "teh botol" (teknokrat "bodoh tolol, meminjam istilah Prof Sanyoto") menakut-nakuti rakyat dengan omong kosong (meminjam istilah Kwik Kian Gie) soal "subsidi BBM" yang memberatkan keuangan pemerintah? Tidak lain karena dengan naiknya harga BBM, para pemilik perusahaan minyak asing yang mengelola 92% minyak mentah Indonesia dan pemerintahan liberal jajahan yahudi Indonesia tidak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan durian runtuh. Dengan menaikkan harga minyak, tentu mereka mendapatkan keuntungan lebih besar meski tanpa itu pun mereka tidak pernah sama sekali mengeluarkan "subsidi" sesenpun. Kekurangan keuntungan yang hanya sebesar Rp 6 triliun itu sudah dianggap bencana dan mereka rela membebani rakyat dengan kenaikan BBM hanya agar keuntungan mereka tidak berkurang.

Sekali lagi tidak pernah ada subsidi. Kenaikan harga BBM internasional hanya mengakibatkan berkurangnya keuntungan pemerintah dan perusahaan minyak asing dan itu membuat pemerintah merasa keberatan. Inilah akibatnya kalau pemerintah tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri melainkan kepada asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar